Indonesia sedang menghadapi keadaan darurat kekerasan seksual. Survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (selanjutnya disebut “Kemendikbudristek”) pada tahun 2019, menempatkan kampus sebagai dalam urutan ketiga teratas lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%). Laporan Komnas (Komisi Nasional) Perempuan sepanjang tahun 2015-2020, menunjukkan setidaknya 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan. Kemendikbudristek kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi (selanjutnya disebut “Permendikbudristek No. 30/2021”). Tujuan dari Permendikbudristek tersebut sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan PPKS di dalam atau di luar kampus dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan diantara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi. Permendikbudristek berlaku sejak diundangkan pada 3 September 2021.
UGM termasuk Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), yang memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya, baik dalam bidang akademik dan non akademik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Gadjah Mada (selanjutnya disebut “PP Statuta UGM”), telah mengatur perihal kekerasan seksual dalam Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat Universitas Gadjah Mada (selanjutnya disebut “PR UGM No. 1/2020”), di mana Peraturan Rektor ini mulai berlaku sejak 24 Januari 2020. Dalam ketentuan penutup Permendikbudristek, disebutkan bahwa Satuan Tugas (Satgas) yang menangani kekerasan seksual yang telah ada di Perguruan Tinggi harus menyesuaikan diri dengan ketentuan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Dengan demikian, secara normatif ada keharusan bagi UGM untuk menyesuaikan PR UGM No. 1/2020 terhadap Permendikbudristek No. 30/2021, termasuk pembentukan Satgas. Untuk itu, UGM menyelenggarakan “Forum Group Discussion: Harmonisasi PR UGM No. 1/2020 dengan Permendikbudristek No. 30/2021″ pada 15 Juni 2022.
Berikut adalah peserta FGD:
- Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual
- Kantor Hukum dan Organisasi
- Tim Health Promoting University
- Akademisi Pidana
- Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial
- Fakultas Hukum
- Sekolah Pascasarjana
- Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
- Fakultas Teknik
- Pegiat isu kekerasan seksual (HopeHelps)
- Unit Konsultasi Psikologi UGM
- Pusat Studi Wanita
Acara dibuka oleh ketua Tim HPU, Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., dan dimoderatori oleh Endri Heriyanto, S.H., M.Kn. dari Kantor Hukum dan Organisasi. Selama 5 jam, para pembahas menyampaikan pandangan masing-masing terkait penanganan kekerasan seksual di UGM yang sudah terjadi selama ini, dilanjutkan dengan diskusi untuk menjaring masukan bagaimana mengharmonisasi PR UGM No. 1/2020 dengan Permendikbudristek No. 30/2021. Selama ini, civitas kampus UGM diimbau untuk melaporkan kasus kekerasan seksual ke Unit Layanan Terpadu (ULT) yang berkedudukan di bawah Sekretaris Universitas. Unit Layanan Terpadu sesuai namanya melayani berbagai kebutuhan dari dalam maupun luar UGM antara lain permohonan kerja sama, permohonan kunjungan sekolah, permohonan liputan, penyampaian aspirasi publik, dan permohonan informasi publik. Namun sejak ada PR UGM No. 1/2020, maka satu layanan khusus terkait kekerasan seksual ditambahkan.
“Sejak terbitnya PR UGM No. 1/2020, sudah ada sekitar 5 kasus yang ditangani Law Career and Development Center Fakultas Hukum. Kami berlaku seperti first responder yang mendampingi korban membuat pelaporan. Tetapi sebagai first responder, mandat kami ini jelasnya seperti apa dan apa saja,” ujar Diantika Rindam Floranti, S.H., LL.M. salah satu pembahas. “Kami membantu untuk mengarahkan ke ULT Khusus.”
“Banyak sekali laporan masuk ke prodi, tetapi tidak mau diproses ke ULT Khusus. Sedangkan harus ada pendataan oleh ULT Khusus ini, mekanismenya lalu bagaimana? Untuk format penulisan laporannya sendiri juga membingungkan,” ungkap Dr. Ratna Noviani, M.Si. dari Sekolah Pascasarjana terkait penanganan di prodinya.
Fungsi ULT Khusus ini harus digantikan oleh Satuan Tugas sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbudristek. Namun selain pembentukan Satgas besert tugas pokok dan fungsinya, PR Rektor yang baru juga sebaiknya memuat prosedur penanganan yang komperehensif yang tidak hanyak terhenti pada sanksi terhadap pelaku, yang bisa berbeda antara mahasiswa dan dosen/tendik, namun juga rehabilitasi bagi pelaku dan penyintas.
“Harus ada pelatihan untuk pihak-pihak yang berkaitan dengan proses penanganan kasus, dari pihak yang pertama merespon korban, tidak hanya di lingkup universitas tetapi juga fakultas,” saran dari dr. Bagas Suryo Bintoro, Ph.D dari Tim HPU. “Unit Konsultasi Psikologi perlu diberdayakan dan dipersiapkan untuk konseling korban dan konseling pelaku.”
Ketua Kantor Hukum dan Organisasi, Veri Antoni S.H., M.Hum, mengusulkan adanya Komite Etik yang akan melakukan proses penanganan perkara sampai memberikan rekomendasi kepada rektor. Komite ini merupakan kumpulan para ahli, perwakilan fakultas, dan/atau berbagai macam unsur. Salah satu pembahas, dr. Tridjoko Hadianto, DTM & H., M.Kes. mengusulkan agar nama komitenya bukan komite etik.
“Penggunaan kata etik ini takutnya akan rancu karena bahasannya luas. Di UGM sendiri, sudah beberapa fakultas mempunyai komite etik penelitian dan sudah ada dokumen yang sudah dibuat secara nasional. Dengan demikian, baiknya nama yang digunakan dalam konteks kekerasan seksual ini tidak generik etik, serta diperjelas garis kerja dan lingkupnya,” sarannya. “Untuk kasus yang sudah jelas itu pelanggaran, rasanya tidak pas jika itu bisa di-approach secara etik karena etik ini seharusnya lebih mengadvokasi. Untuk memastikan agar etik tidak dinilai negative, digunakan nama professional behavior, sehingga tidak misleading.”
Penulis: Vita