Webinar: Mewujudkan Kampus yang Bebas dari Perundungan

Apakah rekan-rekan sekalian tahu tentang tiga dosa besar pendidikan? Tiga dosa tersebut adalah (1) perundungan, (2) kekerasan seksual, dan (3) intoleransi. Untuk lebih mengenal mengenai perundungan di lingkungan pendidikan tinggi, HPU UGM menyelenggarakan Webinar  bertajuk “Mewujudkan Kampus Bebas Perundungan” pada Kamis, 6 Juli 2023 pukul 09.00-12.00 WIB bagi dosen dan tenaga kependidikan. Webinar ini dimoderatori oleh Dr. Dewi Haryani Susilastuti selaku anggota Pokja HPU Zero Tolerance pada Kekerasan, Perundungan, dan Pelecehan. Adapun topik dan pembicara webinar tersebut berikut:

  1. “Tiga Dosa Besar Perguruan Tinggi dalam Konteks Perundungan” oleh Dr. Chatarina Muliana, S.H., S.E., M.H. (Irjen Kemendikbudristek)
  2. “Mengenal Perundungan dan Perundungan siber di Perguruan Tinggi” oleh Desintha Dwi Asriani, S.Sos., M.A., Ph.D. (Dosen Sosiologi UGM) 
  3. “Rencana aksi strategis bagi Dosen dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan UGM” oleh Sri Wiyanti Eddyono, S.H.,LL.M.(HR).,Ph.D (Ketua Pokja HPU Zero Tolerance pada Kekerasan, Perundungan, dan Pelecehan)

“Kita ingin mewujudkan kampus yang aman, nyaman, dan membahagiakan, tidak ada perundungan. Semoga apa yang disampaikan bisa memberikan manfaat dan informasi tambahan yang bisa disebarkan lebih lanjut di tingkat fakultas maupun universitas,” ucap Ketua HPU UGM, Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si. dalam sambutannya.

Webinar ini ditayangkan juga secara live streaming melalui Youtube karena keterbatasan jumlah peserta di Zoom Meeting sebab diikuti oleh lebih dari 500 peserta. Ibu Chatarina selaku Irjen Kemendibudristek hadir secara terpisah sedangkan kedua pembicara dan moderator dari UGM hadir di studio Academic Production House milik Pusat Inovasi dan Kajian Akademik.

Chatarina menerangkan bahwa kampus perlu menaruh perhatian terhadap kasus perundungan dan menyediakan sistem pendukung untuk penanganan perundungan di kampus. Dukungan yang dimaksud, terangnya, meliputi aspek tata kelola penanganan, dukungan kepada korban, hingga pemberian sanksi.  “Kita tidak bisa menganggap kasus perundungan masalah yang simpel dan menjadi bagian dari budaya kita, terutama saat ospek berlangsung. Ini merupakan pelanggaran asas dan prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama Desintha memberikan paparan terkait fenomena perundungan di kalangan remaja, termasuk salah satunya tren perundungan siber. Ia juga berbicara terkait fenomena perundungan dalam perspektif sosiologi dan gender, serta mekanisme struktural dan mekanisme kultural dalam penanganan dan perlindungan kasus perundungan yang kerap berbenturan. “Ini yang sering kali menjadi dilema, ada hukum formal yang sifatnya memaksa dan universal, tapi juga ada situasi dalam masyarakat yang secara kultural dipakai juga. Menemukannya seperti apa, ini yang sering kali menjadi tantangan,” ucapnya.

Pertanyaan kepada pembicara dibuka melalui kolom chat dan peserta sangat antusias dalam memberikan pertanyaann. Salah satunya adalah bagaimana mengatasi perundungan yang dilakukan oleh atasan yang dianggap oleh atasan sebuah gurauan atau candaan? Sri Wiyanti Eddyono, atau yang akrab disapa Bu Iyik, menjelaskan bahwa kita bisa membalas dengan nada gurauan juga tapi sambil menjelaskan bahwa kita tidak nyaman dan jika diteruskan bisa termasuk perundungan. Beliau juga memaparkan temuan Survei Persepsi Perundungan UGM 2022.

 

(Penulis: Vita)